21 Des 2011

Tentang seseorang

Dina, terahir kali ku dengar kabarnya dia bekerja di Luar Pulau Jawa, entah di bagian mana. Sampai saat terakhir kami saling komunikasi sama sekali belum sempat bertemu. Tempat ku bekerja sebenarnya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya sebelum ia pindah, mungkin hanya sekitar lima belas menit untuk menuju kesana. Ada sedikit kesengajaan untuk tidak bertemu ketika Dina meminta ku meluangkan waktu agar kami bisa bertatap muka. Aku tidak terbiasa kalau harus bertemu hanya berdua. Tapi itu jadi salah satu penyesalanku setelah kami tidak ada komunikasi lagi.


Namaku Agung, aku lulusan Universitas ternama yang terletak di Bandung. 4 tahun kuliah yang akhirnya mendapat gelar sarjana teknik. Aku berasal dari daerah di salah satu kabupaten di Jawa Tengah. Baru beberapa tahun lalu aku mulai sering menggunakan jejaring sosial yang katanya saat ini masih booming, facebook. Ya, saat itu aku mulai mencari teman-temanku yang sudah lama berpisah. Untuk teman SD aku hanya ingat beberapa, teman SMP jauh lebih banyak, teman SMA pun tak kalah banyak, sampai teman kuliah. 

Hari itu hari Sabtu, weekend yang kugunakan untuk istirahat karena kerjaku sebagai seorang Teknisi cukup melelahkan. Sambil istirahat aku membuka fb, sekedar ingin tahu kabar teman-teman ku. Sepertinya mereka santai-santai saja, dari statusnya hari ini mereka banyak justru berwisata ke puncak atau sekedar belanja ke Mall. Kadang aku senyum-senyum kalau melihat ada status yang menyatakan ke-galau-an nya, malu-malu ingin berkenalan dengan seorang wanita lah, cucian menumpuk lah, lain-lain.


Tak lama kemudian, muncul satu chat dari seorang teman SD ku. Kami memang sudah sangat lama tidak bertemu, Dwi namanya. "hai gung, udah lama nih ga ada kabar. skrg dmn?", tanyanya dalam satu chat. "baik wi. km sndiri gmn? skrg ak krja d jkt. km udh krja?", tanya ku yang seolah tak mau kalah panjangnya. Cukup lama kami saling bertukar kabar, kesibukan saat ini, tak lupa juga menanyakan teman-teman yang lain. Sampai di satu chat dia menceritakan sahabatnya yang usianya 2 tahun lebih tua dariku, Dina. Dia bekerja di bagian administrasi di sebuah sekolah ternama di ibu kota. Dwi berbagi kisah sahabatnya, sampai ku tahu ternyata Dina hampir menikah. Hanya selang beberapa hari menjelang pernikahannya, calon suami tiba-tiba pergi dan ingin menikah dengan wanita lain. Dina sedih, trauma dengan laki-laki. Awalnya aku bingung mengapa Dwi menceritakan semuanya. Ternyata dia ingin aku coba mendekatinya, atau sekedar mengisi kekosongannya. 

Awalnya aku agak sungkan dengan permintaan itu, dekat dengan wanita pun aku hanya seperlunya. Apalagi belum kenal dan belum pernah bertemu. Tapi dengan paksaan dari Dwi, akhirnya aku menyetujuinya. Mulailah aku meng-add Dina atas petunjuk Dwi. Dan dengan terpaksa pula aku memulai chat dengannya. 1 minggu, 2 minggu, pembicaraan kami itu-itu saja, hambar. Obrolan kami tidak ada yang istimewa. Tapi entah kenapa dua bulan setelah kami berkenalan Dina lebih aktif menyapaku. Yang ditanyakan tidak sekedar kabar saja, obrolan kami berlanjut dengan SMS. Dan itu yang membuatku agak terganggu. Hampir setiap 2 jam dia bertanya sedang apa, ada di mana, dan hal-hal lain yang menurutku berlebihan.

Tak jarang dia bercanda seolah-olah dia adalah "calon" ku. "Yaa namanya juga latihan. Biar nanti tidak kaget kalau kita udah nikah #ups :D ", itu salah satu candaannya yang terkadang membuatku geli dan senyum sendiri. Begitulah, tiada hariku tanpa sms darinya. Sering ku berfikir "Ibuku saja jarang menanyakan keadaan ku se-detail itu. Ah wanita, mungkin memang sulit di tebak."

Dua tahun kami berteman. Sekarang aku sudah terbiasa dengan sms-sms nya berikut candaannya. Tapi aku masih sedikit tak acuh, terkadang hanya membalas sms seadanya. Entah sudah beberapa kali dia meminta kami bertemu, tapi selalu ku tolak dengan berbagai alasan, urusan pekerjaan, rapat, lelah, dan banyak lagi. Dia selalu sabar dan menerima alasanku, itu yang ku salut. Dia hanya membalas "ya udah lain kali aja kita ketemunya, belum waktunya mungkin".

Menjelang akhir tahun, usia pertemanan kami menjelang 3 tahun. 1 bulan belakangan intensitas Dina menyapa ku benar-benar berkurang. Kalau dulu bisa dua jam sekali, sekarang-sekarang hanya 5 kali dalam sehari. Itupun pertanyaan biasa saja seputar kabar ku hari itu. Ada rasa lega dengan keadaan ini, karena aku tidak perlu sering-sering membuka HP untuk membalas pesannya. Tapi aku pun justru merasa ada yang hilang. Ketika ada suatu kejadian aku bisa berbagi dengannya, ya meski pun itupun harus dia yang memulai. Tapi sekarang tidak bisa. Dina yang sekarang berbeda, tidak se-ramah dulu lagi.

Sampai akhirnya Dina benar-benar tidak pernah menghubungiku lagi. Bahkan nomer HP nya pun tidak aktif. Ah, mungkin dia kecewa dengan sikap ku yang tak acuh. Seberapa sering pun dia menghubungi ku, mencoba untuk bertemu, namun tetap saja tidak mengubah sikapku padanya. Saat itulah aku benar-benar merasa kehilangan, tidak ada lagi teman berbagi, yang sangat perhatian dan terkadang berperan seperti ibu yang menasehati anak nya ini dan itu. Aku merasa bersalah padanya, juga pada Dwi sahabatku. Bukannya menghiburnya aku justru mungkin menambah traumanya pada seorang pria. 

Kabar ini kusampaikan pada Dwi, ku ceritakan semuanya, dan kusampaikan juga sikapku yang mungkin terasa tak acuh pada Dina selama ini. Bukan tak acuh, hanya saja aku belum terbiasa dengan sikap seperti itu. Untungnya Dwi mengerti, dan dia memberitahuku bahwa Dina sekarang sudah pindah tempat kerja di luar Pulau Jawa. Tapi dia pun kurang mengetahui di mana tepatnya Dina bekerja. Mereka pun sudah jarang berkomunikasi. Ah entahlah, aku sangat merasa bersalah padanya..

Maaf padamu karena selama ini aku tidak bisa membahagiakanmu, mengeluarkan mu dari penjara trauma mu..
Terima kasih padamu karena membuatku mengerti, mengerti arti sebuah pengorbanan,,
:)

0 komentar:

Posting Komentar