Namanya Khoerunnisa, Nisa biasa dia di panggil. Dia lulusan salah satu SMA terbaik di daerahku. Entah karena di Institut ini membawa embel-embel islam atau memang sudah dari awal dia mengenakan jilbab. Yang jelas, dia terlihat anggun. Seperti biasa, di awal-awal perkuliahan, kami masih malu-malu. Jaga image kalau kata bahasa gaulnya.Oh iya, perkenalkan, namaku Andri. Sebenarnya minat ku di jurusan teknik, tapi apa daya dari segi biaya orang tuaku belum mampu membiayaiku sekolah teknik. Karena itu hari pertama kami kuliah, belum ada perasaan apapun dan mungkin kami masih sibuk dengan sesuatu yang serba baru. Kalau dulu ketika sekolah kita masih pakai seragam yang di sediakan sekolah, sekarang pakaian bebas. Kalau dulu masih memanggil guru, sekarang dibiasakan memanggil dosen.
Hari itu Selasa tepatnya, mata kuliah Kewarganegaraan. Kami di minta sang dosen membuat kelompok terdiri dari lima orang untuk presentasi. Ah, memang takdir sulit di tebak, aku satu kelompok dengannya, bersama dua teman laki-laki dan satu lagi wanita. Sejak saat itu kami jadi sering bertemu, minimal 1 minggu sekali untuk membahas kuliah, mencari bahan presentasi, atau sekedar kumpul berbincang-bincang mengakrabkan diri. Berpindah dari kos satu ke kos lain, dari satu sudut kampus ke sudut lain. Pepatah bilang, witing tresno jalaran saka kulino, "cinta datang karena telah terbiasa". Entah apa yang membuat ku benar-benar terdorong menyatakan hal ini padanya, pada Nisa, wanita sederhana yang memiliki semangat tinggi dan bisa memengaruhi yang lain tetap semangat.
Langit hari itu sangat cerah, tak ada tanda-tanda akan turun hujan. Awan pun menggumpal membentuk sesuatu yang indah di lihat. Suara motor terdengar merdu. Ah, mungkin ini yang mereka sebut cinta. Semua terasa indah, manis, dan tidak masuk akal. Tiga hari setelah pernyataanku, Nisa menjawab "Ya, aku mencintaimu". Biarlah orang menyebut aku lebay, karena ini cinta pertamaku. Biarlah orang bilang ini hanya cinta monyet, paling hanya bertahan beberapa bulan saja. Biarlah,, toh yang menjalankan aku dan NIsa, bukan mereka.
Satu tahun, dua tahun, tiga tahun, kami menorehkan cerita-cerita baru, yang mungkin tidak semua orang merasakannya. Banyak hal yang kami lakukan bersama, terlebih karena kami satu kelas sejak tingkat satu. Keluarga Nisa sangat akrab dengan ku, bahkan mereka sering mengajakku pergi bersama. Aku ingat, setiap ada tugas kuliah kami selalu mengerjakan bersama. Aku ingat, kalau kami lapar, kami makan di kantin kampus. Aku pun ingat ketika dia mendadak sakit ketika kuliah berlangsung, aku membawanya ke klinik terdekat. Dan, aku sangat ingat ketika aku mengatakan padanya "Aku akan serius, sekarang kita fokus nyelesain kuliah dulu. Setelah itu aku akan melamarmu". Dia tersenyum, terharu mungkin.
Sudah tiga hari belakangan sikapnya berubah. Meskipun kami satu kelas, tapi akhir-akhir ini dia memilih langsung pulang dan tidak menyapaku sam sekali. Setiap ku tanya, dia hanya menjawab "tidak ada apa-apa, mau sendiri dulu". Ya sudahlah, mungkin itu yang terbaik buatnya. Sampai di hari keempat, dia meminta berbicara di suatu tempat, "ini serius", katanya. Sesampainya di tempat itu, tak tahan dia mengeluarkan air matanya. "ada apa? kok menangis?", tanyaku. Dalam hati aku introspeksi diri, apa aku pernah berbuat salah padanya? Ku rasa tidak.
"Sayang,,aku dijodohkan,,", ucapnya sambil menangis tersedu. Apa? aku tidak salah dengar? Atau dia sedang bercanda saja? Apa ini hanya ujian untukku?. "Dengan siapa?", tanyaku hati-hati. "Anak dari teman Ayah, dia sudah kerja sekarang. Kemarin mereka berkunjung ke rumah dan menjodohkan aku dengan anaknya, Hendri namanya." Penjelasannya makin menimbulkan banyak pertanyaan dalam hatiku. Selama ini, orang tuanya tidak pernah menyinggung perjodohan, bahkan mereka respect padaku. Apa mereka melihat kalau masa depan ku belum jelas, sedang lelaki itu sudah bekerja dan dianggap mapan?. Entahlah,, mungkin ini yang mereka sebut patah hati.
Setelah pembicaraan hari itu, kami bersikap layaknya hari-hari sebelumnya. Kami memilih menutupinya dari yang lain biar tidak "capek" menceritakannya. Atau mungkin aku tidak sanggup mengatakannya. Sudahlah, mungkin ini yang namanya takdir, sulit untuk di tebak. Dan proses selama lebih dari tiga tahun inilah yang aku jadikan pelajaran.
Untukmu yang (mungkin) berjodoh dengannya,,
0 komentar:
Posting Komentar