27 Des 2011

24122011 : "Mimpi" menyusuri Jakarta

Beberapa hari yang lalu, saya di minta teman mengantarnya menemui keluarganya di daerah Pecenongan. Sebenarnya derah itu sangat asing buat saya, daerah sekitar kampus saja banyak yang belum saya tahu. Tapi dengan bekal melihat peta jalur bus TransJ, saya dapat sedikit bayangan letak daerah tersebut. Dari blok M naik bus TransJ lalu transit di harmony, terakhir naik bus yang ke arah pasar baru. Ada 2 agenda yang saya tinggalkan ketika itu, tapi tak apa lah, toh tujuan perjalanan ini untuk bersilaturrahmi dengan keluarga yang memang jarang bertemu. Maklumlah, teman saya ini berasal dari Luar Jawa, butuh libur lama dan biaya yang tidak sedikit untuk pulang. Oh iya, saya lupa memberitahu kalau kami berangkat bertiga. 

Menuju Hotel Pecenongan


Kami berangkat pukul setengah lima sore, naik angkutan umum menuju blok M. Sampainya di blok M kami membeli tiket bus TransJ menuju harmony. Cukup lama perjalanannya, belum lagi lampu lalu lintas yang lumayan banyak kami lewati dan seringnya kedapatan sedang merah. Sampai di harmony sekitar pukul 6 lewat tiga puluh menit dan kami belum salat maghrib. Karena di halte harmony tidak ada musalla, kami memutuskan melanjutkan perjalanan menaiki bus tujuan pasar baru. Tidak lama di perjalanan, akhirnya kami sampai di daerah Pecenongan. Waktu itu pukul 7 malam. Kami bertanya-tanya ke orang-orang yang ada di sekitar situ menanyakan letak hotel Pecenongan. Teman saya bilang kalau keluarganya menginap di hotel tersebut. Setelah mendapat petunjuk yang cukup jelas, kami langsung berjalan ke tempat tujuan yang katanya sekitar 2 kilometer. Pukul 7 lewat lima belas menit akhirnya kami sampai di hotel Pecenongan yang warna temboknya dominan merah. Tidak terlalu besar dan tidak terlalu ramai hotelnya. Sesampainya di dalam kamar, kami salat maghrib. Setelah itu kami istirahat sambil makan malam.

23 Des 2011

PMK yang meng-galau-kan

Mahasiswa yang dinyatakan lulus dari Prodip I dan III Keuangan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara wajib mengikuti ujian penerimaan CPNS sesuai ketentuan yang mengatur mengenai pengadaan Pegawai Negeri Sipil.(Pasal 5 ayat 3 PMK nomor 215 / PMK.01 / 2011)

Malam ini TL dan home saya dipenuhi hujatan, makian, dan penghinaan terhadap Menteri Keuangan yang sekarang sedang menjabat. Betapa tidak? Malam ini beredar PMK no.251/PMK.01/2011 yang intinya Sekolah Tinggi Akuntansi Negara tidak lagi ikatan dinas seperti tahun-tahun sebelumnya. Jadi nanti setelah lulus akan ada ujian tes CPNS yang katanya ada tes kompetensi dan tes psikotes.

Peraturan ini berlaku mulai 1 Januari 2011. Artinya, angkatan saya, tingkat 2, lulusan 1 tahun di atas saya, yang kemarin baru saja menjalani tes psikotes, dan juga Prodip I yang ketika akan kuliah disini harus melalui tes seleksi sampai 4 tahap, harus mengikuti tes CPNS lagi setelah lulus. Padahal, di awal kami baru di terima di STAN, kami menandatangani surat perjanjian ikatan dinas dan bersedia memenuhi persyaratan.

21 Des 2011

Rapelan turuuuun :D

Akhirnya,,uang saku hari ini cair. Dan alhamdulillah naik 25% dari tahun-tahun sebelumnya. Seneng? iya donk, itu 'kan uang yang bisa saya dapat kalau sudah tingkat tiga. Meskipun kata orang-orang jumlahnya kecil (50ribu per bulan), tapi tetap saja beda rasanya. Sampai-sampai saya punya banyak rencana untuk "menghabiskan" 150ribu ini.

Di kelas saya, uang saku di bagikan setelah kuliah bahasa indonesia, sore tadi jam 4. Agak kesal sih ketika kuliah, Sang dosen menyindir hasil latihan saya sebegitu sinisnya. Padahal belum tentu juga salah. Ya belum tentu benar juga sih,,hehe. Tapi setidaknya lebih halus lah memberitahunya. Hampir saja tadi saya memotong pe-nyindiran-nya untuk membela diri, namun tidak jadi karena diingatkan teman sebelahku. Kekesalan saya terobati ketika setelah kuliah tersebut ketua kelas memanggil sesuai absensi maju ke depan untuk mengambil 3 lembar uang 50ribu-an.  Ini dia saat-saat menyenangkan. Ada yang bilang, serasa menerima gaji.

Mulai lah saya memikirkan akan digunakan untuk apa uang ini. Yang terpenting adalah sedekah. Masjid Al-barkah yang ada di dekat kampus saya memang sedang dalam masa pengumpulan dana untuk renovasi menjadi 2 lantai. Kemarin, saya sempat kepikiran mengoodinir teman-teman tingkat 3 yang ingin menyedekahkan sebagian uang nya untuk pembangunan ini. Bisa saja sebenarnya, tapi sepertinya lebih praktis kalau mereka dengan kesadarannya menyedekahkan sendiri uangnya ke kotak amal masjid. Saya berdoa semoga Allah ta'ala meringankan kami untuk bersedekah, kemana saja ke tempat yang tepat, tidak harus ke Al-barkah. Belajar mulai sekarang menyisihkan penghasilan dan memberikan kepada yang berhak.

Tentang seseorang

Dina, terahir kali ku dengar kabarnya dia bekerja di Luar Pulau Jawa, entah di bagian mana. Sampai saat terakhir kami saling komunikasi sama sekali belum sempat bertemu. Tempat ku bekerja sebenarnya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya sebelum ia pindah, mungkin hanya sekitar lima belas menit untuk menuju kesana. Ada sedikit kesengajaan untuk tidak bertemu ketika Dina meminta ku meluangkan waktu agar kami bisa bertatap muka. Aku tidak terbiasa kalau harus bertemu hanya berdua. Tapi itu jadi salah satu penyesalanku setelah kami tidak ada komunikasi lagi.


Namaku Agung, aku lulusan Universitas ternama yang terletak di Bandung. 4 tahun kuliah yang akhirnya mendapat gelar sarjana teknik. Aku berasal dari daerah di salah satu kabupaten di Jawa Tengah. Baru beberapa tahun lalu aku mulai sering menggunakan jejaring sosial yang katanya saat ini masih booming, facebook. Ya, saat itu aku mulai mencari teman-temanku yang sudah lama berpisah. Untuk teman SD aku hanya ingat beberapa, teman SMP jauh lebih banyak, teman SMA pun tak kalah banyak, sampai teman kuliah. 

Hari itu hari Sabtu, weekend yang kugunakan untuk istirahat karena kerjaku sebagai seorang Teknisi cukup melelahkan. Sambil istirahat aku membuka fb, sekedar ingin tahu kabar teman-teman ku. Sepertinya mereka santai-santai saja, dari statusnya hari ini mereka banyak justru berwisata ke puncak atau sekedar belanja ke Mall. Kadang aku senyum-senyum kalau melihat ada status yang menyatakan ke-galau-an nya, malu-malu ingin berkenalan dengan seorang wanita lah, cucian menumpuk lah, lain-lain.

19 Des 2011

Pendek kurang bermakna

Rasa-rasanya sudah lama saya tidak mampir ke blog sendiri. Ada rasa malas menulis beberapa hari ini. Modem pun sempat kehabisan pulsa beberapa hari belakangan (#curhat). Oh iya, sore ini saya melewatkan satu agenda karena badan ini masih mau di manja yang terpaksa harus saya turuti (sakit-pen). Biar sore ini gak terlalu nganggur, saya coba menuangkan sedikit coretan. Hanya beberapa paragraf pendek saja, tapi semoga bermanfaat :)

Sejak saya mulai di ajarkan menulis, terutama pelajaran agama, setiap ada tulisan yang ditujukan untuk shalawat kepada Nabi, mengagungkan Allah, dan lain-lain selalu memakai singkatan. Yang paling sering saya temui sampai sekarang adalah singkatan SAW untuk shalallaahu 'alaihi wa sallam, SWT untuk Subhanahu wa Ta'ala, dan AS untuk 'alaihis salam. Dan, justru untuk para sahabat (biasanya Radhiallahu 'anhu) atau para ulama (biasanya hafidzahullah) tidak disertakan. 

Memang sih, saya belum menemukan keharusannya menulis kata-kata tersebut secara lengkap. Tapi kalau di pikir-pikir, singkatan itu bisa berarti banyak, tergantung yang membacanya. Bisa-bisa ada yang mengartikan lain terhadap singkatan-singkatan itu. Meskipun kita sudah latah, untuk mengartikan SAW untuk shalallahu 'alaihi wa sallam misalnya, tapi saya kira lebih baik kalau kita memanjangkannya.

Entah hanya saya yang merasakan atau sebagian ada yang merasakan juga, ketika membaca SAW, SWT, dan lain-lain, ya hanya itu yang saya baca, sama sekali tidak berusaha memanjangkannya, dalam hati sekalipun. Padahal kita wajib bershalawat kepada Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam ketika namanya di sebut. Belum lagi kalau dari pertama belajar kita terbiasa menyingkatnya sampai-sampai artinya saja tidak tahu.

Yuk, kawan, mulai kita biasakan memudahkan pembaca dengan tidak menyingkat shalawat kepada Nabi, peng-agung-an kepada Allah, dan mendoakan para sahabat dan ulama. :)

13 Des 2011

Kamis itu,,Ayahku,,

Setiap yang bernyawa akan merasakan mati,, (Ali Imran: 185)


"Nak, hari ini pulang ya, Ayah mu sakit keras",ucap Ibu.
Hari itu hari kamis, hari aku rutin mengikuti kajian di masjid dekat kampus. Kajian untuk umum, biasanya di mulai pukul satu siang. Tiap pekannya yang datang ya kebanyakan civitas kampus yang kebetulan siang itu tidak ada jadwal kuliah atau mengajar. Tema siang ini mengenai sabar. Sang ustadz membacakan salah satu ayat dari surat al-baqarah ayat 155 sampai 156.
Dan kami pasti akan menguji kamu dengan sedikti ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (155)
"Nak, hari ini pulang ya, Ayah mu sakit keras",ucap Ibu.
Siang itu cuaca cukup panas, mungkin mencapai 32 derajat celcius. Memang saat ini di daerah ku kuliah, Bandung, cuaca mudah berubah. Kemarin hujan deras, sekarang panas terik. Siang itu kajian di mulai lebih cepat dari biasanya, pukul 12.45 sudah di mulai. Pada waktu itu aku baru saja selesai kuliah dan langsung menuju masjid kampus. Aku dan beberapa teman kelas salat berjamaah di luar ruang utama masjid yang memang sedang di pakai kajian. Selesai salat, kami bergabung ke ruang utama masjid bergabung dengan yang lain. Kebetulan beberapa dari kami sedang puasa sunnah, jadi tak perlu makan siang.



"Nak, hari ini pulang ya, Ayah mu sakit keras",ucap ibu.
Hanya beberapa orang yang mengikuti kajian ini, kebanyakan mahasiswa. Dan kebanyakan pengurus masjid kampus, aku kenal beberapa dari mereka. Pukul satu lewat dua puluh lima menit, ya, aku ingat sekali, handphone ku bergetar. Ku keluarkannya dari kantong celana. "oh, dari ibu", dalam hatiku. Entahlah, siang itu tidak ada perasaan apa-apa meskipun sangat jarang Ibu ku menelepon siang-siang begini. Bergegas ku melangkah keluar dari ruang utama, mengangkat telepon.

"Assalamu 'alaikum", suara di ujung telepon, ibuku. "wa'alaikum salam. Ada apa bu? kok tumben siang -siang telepon?", tanyaku padanya. "Nak, sedang apa? hari ini pulang ya, Ayah mu sakit keras". Ibuku segera menutup teleponnya, hanya kalimat itu yang disampaikannya. Ya, hanya itu. Tapi itu cukup membuatku bertanya-tanya. Sakit apa Ayah? Bukankah sudah lama Maag kronis nya tidak kambuh lagi? Atau mungkin ada penyakit lain yang dulu belum diketahui?. Ah sudahlah, sesegera mungkin aku pulang ke kos dan bersiap-siap pulang. Perjalanan Bandung sampai kota ku tidak begitu lama, sekitar 4 jam sudah sampai. Biasanya aku pulang naik motor, tapi hari ini aku putuskan naik bus saja, biar lebih santai.

(yaitu) orang-orang yang bila di timpa musibah, mereka berkata "innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun (sesunguuhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali. (156)
Sampai beberapa meter di depan rumah, terlihat rumah ku sudah ramai oleh tetangga dan saudara-saudara dekatku. Ada apa? Apa Ayah akan di bawa ke rumah sakit?. Paman ku keluar dari rumah, bergegas mendekatiku, memelukku sambil menahan tangis namun tak kuasa. Dan akhirnya tangis itu pecah di bahu ku. "Ayah mu,,Ayah mu sudah tiada, Ru. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya pukul 5 tadi. Sepulang kerja tadi, tiba-tiba beliau merasakan sakit di dadanya. Dan kami terlambat membawanya ke rumah sakit". Pamanku menjelaskan masih dalam keadaan memelukku dan air matanya menetes di bahu ku.

                                                  -----------------------------------

Ayahku dimakamkan di pekuburan dekat rumah sekitar pukul 8 malam, hari itu juga. Aku masih sempat ikut memandikan, mengkafani, menyolati dan menutup papan sampai akhirnya benar-benar terkubur. Semua keluarga kumpul, ada kedua kakakku yang saat ini sudah berkeluarga dan membawa serta suami-suami dan anak-anaknya. Kakak pertama sekarang tinggal di Solo, ikut suaminya yang kerja disana. Kakak kedua tinggal di Malang. Dan adikku saat ini masih kelas 2 SMA. Kami semua bersedih, tak menyangka Ayah memiliki penyakit Jantung. Selama ini tidak bercerita, apalagi mengeluh kesakitan.

                                                  --------------------------------------

Ayah,, tahukah kau, aku sangat bangga menjadi anak mu. Pendidikan mu tidak setinggi aku, Ibu bilang Ayah lulusan SMA. Pekerjaan mu selama ini bertani, bukan pekerja kantoran yang gagah mengenakan jas dan dasi. Tapi dengan kesederhanaanmu, aku belajar menghargai hidup.

Ayah,, kini anakmu sudah smester 7. Sebentar lagi wisuda. Sayang, mungkin hanya Ibu yang menyaksikanku di wisuda. Tapi tak apa, sudah takdirnya akan seperti ini.

Ayah,, Aku masih ingat pesan mu kepadaku. Pesan yang kau sampaikan sebelum aku kembali ke perantauan. Bahwa aku harus bisa menjaga Ibu dan adik. Mereka wanita, wanita yang kita cintai.

Ayah,, semoga amal-amal anak-anakmu bisa mengantarkanmu ke surga-Nya, semoga hapalan quran kami semua bisa menolongmu..Insya Allah..

9 Des 2011

Hari ini (2): dari STAN sampai Kebon Sirih

Ya, inilah lanjutan cerita saya hari ini. Sepulang kuliah, di daerah bendungan saya mendapat telepon dari Mensos BEM.  Intinya kalau siang ini saya kosong, tolong antarkan proposal INTERACTION ke Baznas yang ada di kebon sirih, Jakarta Pusat. Daerah yang sangat asing buat saya. Yang saya tau di Jakpus ada Monas, dan disebelahnya ada stasiun Gambir, dimana saya biasa naik kereta menuju kampung halaman.

Oke lah, karena siang ini saya kosong, saya menyanggupi mengantar proposal itu bersama ketua INTERACTION. Kami berangkat pukul 1 siang, sampai Baznas jam 2, lalu selang 15menit kami pulang, dan sekitar pukul setengah empat sore kami sudah kembali berada di kampus. Tapi itu hanya rencana saya yang entah dari mana semua perkiraan itu bisa saya dapat. Pokoknya, maksimal pukul 4.30 sore saya sudah di kampus karena akan ada kepentingan lain, mungkin itu yang menjadi alasannya.

Kami sepakat bertemu di BEM dan berangkat pukul setengah dua. Saya menunggu di BEM, tidak lama dia datang. Langsung berangkat? “Nanti dulu, proposal belum selesai, belum di print, data-datanya belum di burn ke CD”, dia menjelaskan. Baiklah, mari kita selesaikan secara jantan. Jam 2.30 kami baru menyelesaikan proposal dan pergi ke ceger untuk cetak dan burn ke CD.  Dengan segala keribetannya, akhirnya selesai di cetak dan di burn jam 3. Saat itu saya hanya mendapat 1 helm, teman saya meyakinkan tidak masalah tidak mengenakan helm juga.

Oke, kami berangkat. Oh iya, sebelum berangkat kami tanya ke Bapak-bapak yang ada di pinggir jalan, menanyakan dimana kebon sirih. Beliau menjelaskan lumayan rinci tiap daerah yang harus kami lewati. Kami dapat patokannya, arah kebayoran lama – tanah abang – senayan – sudirman – keobn sirih. Jam segitu sudah macet ternyata, kami sempat melihat antrean kendaraan yang sangat panjang. Tapi kami naik motor, jadi bisa lebih cepat. Sampai di suatu daerah, ada yang memperingati kalau penumpang harus memakai helm, banyak polisi katanya.

Saya agak was-was, teringat dulu pernah kena tilang dan membayar denda yang tidak sedikit. Dengan berjalan pelan, kami mencari penjual helm. Tapi tidak ada. Kami putuskan mendekati tukang ojek, dengan harapan bisa menjual helm nya dengan harga murah. Setelah proses tawar-menawar yang cukup lama, akhirnya kami menyerah membeli helm itu dengan harga 40rb. Tapi tak apalah, kena tilang risikonya lebih dari itu. Perjalanan berangkat ini relatif cepat, kami butuh beberapa kali bertanya dan akhirnya sampai di tempat tujuan, Baznas. Sepertinya ada salah komunikasi, ternyata beliau sedang rapat di luar kantor. Kami putuskan proposal dititipkan ke satpam kantor. Setelah itu kami pulang.

Kami bingung mau bertanya apa agar yang di tanya bisa dengan mudah menjelaskan arah pulang kami, ceger. Tapi akhirnya pun kami bisa mendapat petunjuk yang lumayan memudahkan kami. Intinya, perjalanan pulang hampir mirip ketika berangkat. Kami mencari arah kebayoran lama, setelah itu mencari Gandarai City, kemudian tanah kusir, akhirnya sampai ceger. Di perjalanan pulang, jalanan dipenuhi polusi, dari mulai bajaj sampai mobil pribadi. Nafas saya agak sesak karena beberapa lama berada di belakang bajaj dan bus besar. Lepas dari macet satu, kembali terjebak kemacetan di jalan selanjutnya. Polisi pun sepertinya sudah lelah mengatur jalanan Kota ini setiap hari. Lampu merahnya jauh lebih lama ketimbang di daerah kampung saya (ya iyyalaah), mungkin mencapai 3-5menit sekali merah. Sempat beberapa kali saya melihat hampir terjadi tabrakan antarkendaraan di lampu lalu lintas. Mereka banyak yang kurang sabar, belum juga lampu bagiannya hijau, tapi sudah tancap gas. “Mungkin mereka ada keperluan yang mendesak”, pikirku.

Dengan ketidaktahuan kami dan ke-sok tahu-an saya, entah berapa kali kami salah jalan. Tidak apa-apa memang, toh masih bisa putar balik. Yang agak saya khawatirkan adalah, ini hampir malam, penglihatan saya cukup buram bahkan hanya sekedar melihat. Apalagi menyetir. Dari dulu saya memang sebisa mungkin menghindari berkendara di malam hari. Tapi untungnya belum terlalu gelap, jadi motor masih bisa saya gas sampai kecepatan 50 km/jam.



Hampir pukul 7 malam kami sampai kampus. Kami sempatkan salat maghrib lalu mengembalikan helm dan motor. Dan helm seharga 40rb itu kami simpan, mungkin untuk aset depsos,,hehe

Hari Ini (1): Mungkin, (hanya) C atau D

Kurang pas juga sebenarnya saya menebak-nebak nilai sendiri berada di tempat terendah. Itu artinya sampai disitu lah saya menilai diri saya, saya belum berani meyakinkan diri saya bahwa saya bisa dan pantas mendapat nilai tinggi.
Alhamdulillah,,akhirnya sampai indekos jug. “Lho, memangnya dari mana?”. Oh iya, saya belum cerita kemana saya hari ini. Sebenarnya, tidak terlalu istimewa di jumat ini, hanya saja saya ingin bercerita mengisi kekosongan sembari istirahat. J

Pagi ini, saya dan 34 teman kelas mulai kuliah perdana di hari jumat setelah menghadapi UTS ganjil, mata kuliah etika profesi PNS. Sangat tidak biasa, pagi tadi (terpaksa) saya duduk di barisan kedua, bersebelahan dengan teman satu kelompok DINAMIKA, dan teman satu kelas sewaktu tingkat 1. Yah, nostalgia mungkin..hehe

Yang berbeda dari kuliah sebelum UTS, mulai pertemuan 9 sampai pertemuan terakhir nanti, kami presentasi perkelompok yang tema dan kelompoknya bahkan sudah ditentukan dari sebelum UTS. Hari ini kelompok satu maju, seingat saya mereka membahas profesionalitas pegawai negeri, bahwa betapa sampai saat ini masih banyak pegawai negeri yang kurang berkompeten. Hmmm,,,

Di injury time, Pak dosen mengumumkan nilai UTS kemarin. “hasil ujiannya”, beliau berkata,”yang mendapat nilai A ada 1 orang, nilai B ada 4 orang, nilai C+ ada 14 orang, nilai C ada 10 orang, dan nilai D ada 6 orang”. Yang saya khawatirkan setelah nilai-nilai tersebut dibacakan adalah Pak dosen menyebutkan yang mendapat nilai D. Saya dengar di kelas sebelumnya-yang juga di ajar beliau-yang mendapat nilai D disebutkan dari depan kelas. Tapi ternyata tidak. Leganya hati ini.

Nah, yang kemudian muncul di pikiran saya-mungkin di pikiran semua teman kelas juga-adalah “Saya termasuk yang mana?”. Mulailah saya mengira-ngira sendiri, kira-kita saya termasuk yang mana. Nilai A, langsung saya tolak, rasanya hampir tidak mungkin saya mendapat nilai itu. Dan sepertinya sudah ada yang jauh lebih pantas mendapat nilai A. Memang, takdir sulit di tebak, saya hanya berfikir realistis saja.

Yang kedua, nilai B, 4 orang. Hmmm,,sejenak merenung. Kayaknya kurang memungkinkan juga deh. Dari pandangan saya masih banyak yang pantas mendapatkannya. Presentasenya sekitar 15persen lah saya mendapat nilai B. Oke, saya lanjut ke C+. Disini saya baru ada banyak keyakinan kalau saya berada disini bersama 13 teman lainnya. Tapi, kakaynya C lebih yakin lagi deh, meskipun hanya 10 orang. “Eh tapi, masih ada 6 orang sisanya, dan ini yang sebenernya kami khawatirkan. Nilai D nilai terendah, dan sebisa mungkin Mahasiswa menghindarinya. Lagi-lagi perasaan saya mengatakan “mungkin saya ada disini”. Cukup beralasan memang, karena ketika ujian banyak jawaban saya yang kurang lengkap dan kurang tepat.

Kurang pas juga sebenarnya saya menebak-nebak nilai sendiri berada di tempat terendah. Itu artinya sampai disitu lah saya menilai diri saya, saya belum berani meyakinkan diri saya bahwa saya bisa dan pantas mendapat nilai tinggi.

6 Des 2011

Sayang, aku dijodohkan...

Namanya Khoerunnisa, Nisa biasa dia di panggil. Dia lulusan salah satu SMA terbaik di daerahku. Entah karena di Institut ini membawa embel-embel islam atau memang sudah dari awal dia mengenakan jilbab. Yang jelas, dia terlihat anggun. Seperti biasa, di awal-awal perkuliahan, kami masih malu-malu. Jaga image kalau kata bahasa gaulnya.Oh iya, perkenalkan, namaku Andri. Sebenarnya minat ku di jurusan teknik, tapi apa daya dari segi biaya orang tuaku belum mampu membiayaiku sekolah teknik. Karena itu hari pertama kami kuliah, belum ada perasaan apapun dan mungkin kami masih sibuk dengan sesuatu yang serba baru. Kalau dulu ketika sekolah kita masih pakai seragam yang di sediakan sekolah, sekarang pakaian bebas. Kalau dulu masih memanggil guru, sekarang dibiasakan memanggil dosen. 


Hari itu Selasa tepatnya, mata kuliah Kewarganegaraan. Kami di minta sang dosen membuat kelompok terdiri dari lima orang untuk presentasi. Ah, memang takdir sulit di tebak, aku satu kelompok dengannya, bersama dua teman laki-laki dan satu lagi wanita. Sejak saat itu kami jadi sering bertemu, minimal 1 minggu sekali untuk membahas kuliah, mencari bahan presentasi, atau sekedar kumpul berbincang-bincang mengakrabkan diri. Berpindah dari kos satu ke kos lain, dari satu sudut kampus ke sudut lain. Pepatah bilang, witing tresno jalaran saka kulino, "cinta datang karena telah terbiasa". Entah apa yang membuat ku benar-benar terdorong menyatakan hal ini padanya, pada Nisa, wanita sederhana yang memiliki semangat tinggi dan bisa memengaruhi yang lain tetap semangat. 

Langit hari itu sangat cerah, tak ada tanda-tanda akan turun hujan. Awan pun menggumpal membentuk sesuatu yang indah di lihat. Suara motor terdengar merdu. Ah, mungkin ini yang mereka sebut cinta. Semua terasa indah, manis, dan tidak masuk akal. Tiga hari setelah pernyataanku, Nisa menjawab "Ya, aku mencintaimu". Biarlah orang menyebut aku lebay, karena ini cinta pertamaku. Biarlah orang bilang ini hanya cinta monyet, paling hanya bertahan beberapa bulan saja. Biarlah,, toh yang menjalankan aku dan NIsa, bukan mereka.

Satu tahun, dua tahun, tiga tahun, kami menorehkan cerita-cerita baru, yang mungkin tidak semua orang merasakannya. Banyak hal yang kami lakukan bersama, terlebih karena kami satu kelas sejak tingkat satu. Keluarga Nisa sangat akrab dengan ku, bahkan mereka sering mengajakku pergi bersama. Aku ingat, setiap ada tugas kuliah kami selalu mengerjakan bersama. Aku ingat, kalau kami lapar, kami makan di kantin kampus. Aku pun ingat ketika dia mendadak sakit ketika kuliah berlangsung, aku membawanya ke klinik terdekat. Dan, aku sangat ingat ketika aku mengatakan padanya "Aku akan serius, sekarang kita fokus nyelesain kuliah dulu. Setelah itu aku akan melamarmu". Dia tersenyum, terharu mungkin.

Sudah tiga hari belakangan sikapnya berubah. Meskipun kami satu kelas, tapi akhir-akhir ini dia memilih langsung pulang dan tidak menyapaku sam sekali. Setiap ku tanya, dia hanya menjawab "tidak ada apa-apa, mau sendiri dulu". Ya sudahlah, mungkin itu yang terbaik buatnya. Sampai di hari keempat, dia meminta berbicara di suatu tempat, "ini serius", katanya. Sesampainya di tempat itu, tak tahan dia mengeluarkan air matanya. "ada apa? kok menangis?", tanyaku. Dalam hati aku introspeksi diri, apa aku pernah berbuat salah padanya? Ku rasa tidak.

"Sayang,,aku dijodohkan,,", ucapnya sambil menangis tersedu. Apa? aku tidak salah dengar? Atau dia sedang bercanda saja? Apa ini hanya ujian untukku?. "Dengan siapa?", tanyaku hati-hati. "Anak dari teman Ayah, dia sudah kerja sekarang. Kemarin mereka berkunjung ke rumah dan menjodohkan aku dengan anaknya, Hendri namanya." Penjelasannya makin menimbulkan banyak pertanyaan dalam hatiku. Selama ini, orang tuanya tidak pernah menyinggung perjodohan, bahkan mereka respect padaku. Apa mereka melihat kalau masa depan ku belum jelas, sedang lelaki itu sudah bekerja dan dianggap mapan?. Entahlah,, mungkin ini yang mereka sebut patah hati. 

Setelah pembicaraan hari itu, kami bersikap layaknya hari-hari sebelumnya. Kami memilih menutupinya dari yang lain biar tidak "capek" menceritakannya. Atau mungkin aku tidak sanggup mengatakannya. Sudahlah, mungkin ini yang namanya takdir, sulit untuk di tebak. Dan proses selama lebih dari tiga tahun inilah yang aku jadikan pelajaran.

Untukmu yang (mungkin) berjodoh dengannya,,