15 Mei 2011

Ibu,,


Senja itu, ditemani hujan yang sangat deras, aku menatap keluar dari jendela kamar yang basah oleh tetesan-tetesan hujan. Aku duduk di sebuah ranjang sempit dengan pandangan menerawang jauh keluar sana. Sekilas tampak orang lalu-lalang menggunakan payung sambil tergesa-gesa. Ada yang sendiri, ada pula yang bersama anaknya. Dengan susah payah mereka mengangkat celana mereka agar tidak terkena genangan air yang tingginya hampir 10cm itu. Maklum lah, hujan sore ini berbeda dari biasanya. Hujan turun sangat deras disertai petir yang dahsyat. Apalagi Jakarta yang hampir setiap tahun banjir dimana-mana. Daerah ku cukup beruntung, karena berada didataran tinggi dan tidak langganan banjir seperti daerah lain.  Ada pula kendaraan roda empat yang melaju sangat pelan, mungkin agar tidak membasahi pejalan kaki. Atau mungkin juga sang supir tidak begitu jelas melihat ke depan. Karena jarak pandang sore itu hanya sekitar 100m saja. Tidak sedikit pengendara motor yang sedang berteduh di rumah-rumah sekitar tempatku berada. Kebanyakan mereka karena tidak membawa jas hujan. Mereka yang pada awalnya tidak mengenal satu sama lain, akhirnya saling berbincang-bincang agar tidak jenuh menunggu hujan reda yang entah sampai kapan. Namun ada pula yang tetap terdiam, berdiri dengan pandangan menerawang seperti yang sedang aku lakukan sore itu. Mungkin sedang memikirkan keluarganya dirumah, atau pekerjaan hari ini yang belum terselesaikan. Ah sudahlah, bukan ahli ku untuk menebak isi hati orang.


Tak terasa sudah pukul empat lewat dua puluh menit. Hampir satu jam aku terdiam di kamar ini. Hujan pun belum ada tanda-tanda akan reda. Hari semakin gelap ditambah dengan petir yang sesekali menggelegar tiada ampun. Masih ingat jelas diingatan ku ketika masih kecil jika hujan besar sepert ini dengan petir yang sangat besar, aku selalu berlari sambil menangis ke tempat IBU berada. Umurku mungkin belum genap 8 tahun. Aku selalu ingin di dekatnya di saat-saat seperti ini. Lalu dipeluknya aku dengan hangat, dibelainya rambutku yang lurus, dan dia selalu berkata “tenang, tidak usah takut nak. Ada aku disini”. Itulah kalimat yang selalu membuat ku tetap tegar. Tanpa terasa sore inipun aku merindukannya. Aku rindu saat dia memelukku dengan penuh kasih sayang, aku rindu kalimat-kalimatnya yang membuatku kuat. Oh IBU, kau sukses membuat anakmu menangis sore ini. Aku ingin kau ada disini menemani sore ku yang sepi, dengan kasih sayangmu, dengan ketulusanmu. Tapi aku selalu ingat kau dulu pernah berkata “kalau nanti kuliahmu jauh dari IBU, dan tidak ada yang menemanimu, kuatkan dirimu,,jangan cengeng. Karena tidak selamanya IBU ada disampingmu. Tidak mungkin kan IBU ikut ke tempat kuliah mu? disini ada Ayah dan adik mu yang harus IBU urus. Jaga dirimu disana, cari teman sebanyak-banyaknya”.

Ah IBU, nasehat mu masih hangat melekat dipikiran ku. Padahal sudah bertahun-tahun nasehat itu kau berikan padaku. Tapi maaf BU, sore ini aku masih cengeng, aku belum cukup tegar dengan keadaan seperti ini. Petir yang seperti dulu itu kini hadir kembali, disini, ketika aku sendiri di kamar  dan kau tak ada menemaniku. Ingin rasanya aku pinjam tubuh mu untuk aku peluk atau sekedar bersandar di bahumu.

IBU, sedang apa kau disana? Sehatkah? Bagaimana sakitmu yang sudah sekian tahun belum juga sembuh? 
Apakah masih rutin berobat ke dokter? Tanaman yang aku titipkan padamu, apakah sudah berbunga? Bagaimana keadaan Ayah? Masihkah sering terasa sakit jantungnya? Jangan lupa mengingatkah Ayah untuk meminum obat, bu.. adik sekolahnya gimana? Lancar? Kapan ujian?

Ah, begitu banyak pertanyaan yang ingin aku sampaikan padanya secara langsung. Namun kali ini hanya bisa melalui telepon genggam yang aku miliki hadiah ulang tahun ku yang ke-17. Sudah sering aku menghubunginya, menanyai kabar atau sekedar sms saling memberi tahu dimana posisi kami. Namun entah kenapa aku selalu merasa tidak puas, aku ingin menemuinya langsung dan menatap wajahnya yang mulai keriput.

Tunggulah aku disana, IBU. Aku akan pulang ketika aku sukses nanti. Dan aku yakin, nanti giliran IBU yang menangis bahagia melihat anakmu berhasil. Dan IBU akan lihat anakmu yang sudah dewasa, tidak lagi cengeng hanya karena suara petir. Jaga dirimu baik-baik, IBU....


Tangerang Selatan, Lima Belas Mei Dua Ribu Sebelas pukul enam lebih dua puluh lima menit,,
kos arrijal, kalimongso..di sudut kamar berukuran 3,5 x 3,5 m..
di hari-hari mendekati UTS smester empat Sekolah Tinggi Akuntasi Negara (STAN), ditengah tugas kuliah yang menumpuk..

5 komentar:

almanaya mengatakan...

tampilannya udah beda lho:D

fahmanug mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
fahmanug mengatakan...

pnya mu jg, agak beda..hhe
pnya ku td mlm d edit2 dikit..:)

diditisme mengatakan...

nice post........

fahmanug mengatakan...

sankyu.. :)

Posting Komentar